Hi quest ,  welcome  |  sign in  |  registered now  |  need help ?
Firefox 2

Quest Book

Waktu saat ini menunjukkan :

 

Kamu adalah pengunjung ke

Customize your blog

kasih sayang tulus seorang MAMA

Written By generated on Tuesday 6 February 2007 | 20:09

Los Felidas, Penantian Seperempat Abad
* Mengingat dan Menyadarkan kita kehangatan
dan kasih sayang tulus seorang MAMA.


Los Felidas adalah nama sebuah jalan di ibu kota
sebuah negara di Amerika Selatan, yang terletak
di kawasan terkumuh diseluruh kota. Ada sebuah
kisah yang menyebabkan jalan itu begitu dikenang
orang, dan itu dimulai dari kisah seorang pengemis
wanita yang juga ibu seorang gadis kecil.
Tidak seorangpun yang tahu nama aslinya, tapi
beberapa orang tahu sedikit masa lalunya, yaitu
bahwa ia bukan penduduk asli disitu, melainkan
dibawa oleh suaminya dari kampung halamannya.
Seperti kebanyakan kota besar di dunia ini,
kehidupan masyarakat kota terlalu berat untuk
mereka, dan belum setahun mereka di kota itu,
mereka kehabisan seluruh uangnya, dan pada suatu
pagi mereka sadar bahwa mereka tidak tahu dimana
mereka tidur malam nanti dan tidak sepeserpun
uang ada dikantong.

Padahal mereka sedang menggendong bayi mereka yang
berumur 1 tahun. Dalam keadaan panik dan putus asa,
mereka berjalan dari satu jalan ke jalan lainnya,
dan akhirnya tiba di sebuah jalan sepi dimana
puing-puing sebuah toko seperti memberi mereka
sedikit tempat untuk berteduh.

Saat itu angin Desember bertiup kencang, membawa
titik-titik air yang dingin. Ketika mereka
beristirahat dibawah atap toko itu, sang suami
berkata: "Saya harus meninggalkan kalian sekarang.
Saya harus mendapatkan pekerjaan, apapun, kalau
tidak malam nanti kita akan tidur disini."
Setelah mencium bayinya ia pergi. Dan ia tidak
pernah kembali.

Tak seorangpun yang tahu pasti kemana pria itu
pergi, tapi beberapa orang seperti melihatnya
menumpang kapal yang menuju ke Afrika.
Selama beberapa hari berikutnya sang ibu yang
malang terus menunggu Kedatangan suaminya, dan
bila malam tidur di emperan toko itu.

Pada hari ketiga, ketika mereka sudah kehabisan
susu, orang-orang yang lewat mulai memberi mereka
uang kecil, dan jadilah mereka pengemis di sana
selama 6 bulan berikutnya. Pada suatu hari,
tergerak oleh Semangat untuk mendapatkan kehidupan
yang lebih baik, ibu itu bangkit dan memutuskan
untuk bekerja. Masalahnya adalah di mana ia harus
menitipkan anaknya, yang kini sudah hampir 2 tahun
dan tampak amat cantik jelita. Tampaknya tidak ada
jalan lain kecuali meninggalkan anak itu disitu
dan berharap agar nasib tidak memperburuk keadaan
mereka.

Suatu pagi ia berpesan pada anak gadisnya, agar ia
tidak kemana-mana, tidak ikut siapapun yang
mengajaknya pergi atau menawarkan gula-gula.
Pendek kata, gadis kecil itu tidak boleh
berhubungan dengan siapapun selama ibunya tidak
ditempat. "Dalam beberapa hari mama akan
mendapatkan cukup uang untuk menyewa kamar kecil
yang berpintu, dan kita tidak lagi tidur dengan
angin di rambut kita".

Gadis itu mematuhi pesan ibunya dengan penuh
kesungguhan. Maka sang ibu mengatur kotak kardus
dimana mereka tinggal selama 7 bulan agar tampak
kosong, dan membaringkan anaknya dengan hati-hati
di dalamnya. Di sebelahnya ia meletakkan sepotong
roti. Kemudian, dengan mata basah ibu itu menuju
kepabrik sepatu, di mana ia bekerja sebagai
pemotong kulit.

Begitulah kehidupan mereka selama beberapa hari,
hingga di kantong sang Ibu kini terdapat cukup
uang untuk menyewa sebuah kamar berpintu di daerah
kumuh. Dengan suka cita ia menuju ke penginapan
orang-orang miskin itu, dan membayar uang muka
sewa kamarnya. Tapi siang itu juga sepasang
suami istri pengemis yang moralnya amat rendah
menculik gadis cilik itu dengan paksa, dan
membawanya sejauh 300 kilometer ke pusat kota.

Di situ mereka mendandani gadis cilik itu dengan
baju baru, membedaki wajahnya, menyisir rambutnya
dan membawanya ke sebuah rumah mewah dipusat kota.
Di situ gadis cilik itu dijual. Pembelinya adalah
pasangan suami istri dokter yang kaya, yang tidak
pernah bisa punya anak sendiri walaupun mereka
telah menikah selama 18 tahun.

Mereka memberi nama anak gadis itu Serrafona, dan
mereka memanjakannya dengan amat sangat. Di
tengah-tengah kemewahan istana itulah gadis kecil
itu tumbuh dewasa. Ia belajar kebiasaan-kebiasaan
orang terpelajar seperti merangkai bunga, menulis
puisi dan bermain piano. Ia bergabung dengan
kalangan-kalangan kelas atas, dan mengendarai
Mercedes Benz kemanapun ia pergi.

Satu hal yang baru terjadi menyusul hal lainnya,
dan bumi terus berputar tanpa kenal istirahat.

Pada umurnya yang ke-24, Serrafona dikenal sebagai
anak gadis Gubernur yang amat jelita, yang pandai
bermain piano, dan yang sedang menyelesaikan gelar
dokternya. Ia adalah figur gadis yang menjadi
impian tiap pemuda, tapi cintanya direbut oleh
seorang dokter muda yang welas asih, yang bernama
Geraldo.

Setahun setelah perkawinan mereka, ayahnya wafat,
dan Serrafona beserta suaminya mewarisi beberapa
perusahaan dan sebuah real-estate sebesar 14
hektar yang diisi dengan taman bunga dan istana
yang paling megah di kota itu. Menjelang hari
ulang tahunnya yang ke-27, sesuatu terjadi merubah
kehidupan wanita itu. Pagi itu Serrafona sedang
membersihkan kamar mendiang ayahnya yang sudah
tidak pernah dipakai lagi, dan di laci meja
kerja ayahnya ia melihat selembar foto seorang
anak bayi yang digendong sepasang suami istri.
Selimut yang dipakai untuk menggendong bayi itu
lusuh, dan bayi itu sendiri tampak tidak terurus,
karena walaupun wajahnya dilapisi bedak tetapi
rambutnya tetap kusam. Sesuatu ditelinga kiri bayi
itu membuat jantungnya berdegup kencang.

Ia mengambil kaca pembesar dan mengkonsentrasikan
pandangannya pada telinga kiri itu. Kemudian ia
membuka lemarinya sendiri, dan mengeluarkan
sebuah kotak kayu mahoni. Di dalam kotak yang
berukiran indah itu dia menyimpan seluruh
barang-barang pribadinya, dari kalung-kalung
berlian hingga surat-surat pribadi. Tapi diantara
benda-benda mewah itu terdapat sesuatu terbungkus
kapas kecil, sebentuk anting-anting melingkar
yang amat sederhana, ringan dan bukan emas murni.
Ibunya almarhum memberinya benda itu sambil
berpesan untuk tidak kehilangan benda itu. Ia
sempat bertanya, kalau itu anting-anting, dimana
satunya. Ibunya menjawab bahwa hanya itu yang ia
punya. Serrafona menaruh anting-anting itu didekat
foto.

Sekali lagi ia mengerahkan seluruh kemampuan
melihatnya dan perlahan-lahan air matanya
berlinang. Kini tak ada keragu-raguan lagi bahwa
bayi itu adalah dirinya sendiri. Tapi kedua pria
wanita yang menggendongnya, yang tersenyum
dibuat-buat, belum penah dilihatnya sama sekali.

Foto itu seolah membuka pintu lebar-lebar pada
ruangan yang selama ini mengungkungi pertanyaan
-pertanyaannya, misalnya: kenapa bentuk wajahnya
berbeda dengan wajah kedua orang tuanya, kenapa ia
tidak menuruni golongan darah ayahnya.

Saat itulah, sepotong ingatan yang sudah
seperempat abad terpendam, berkilat di benaknya,
bayangan seorang wanita membelai kepalanya dan
mendekapnya di dada. Di ruangan itu mendadak
Serrafona merasakan betapa dinginnya sekelilingnya
tetapi ia juga merasa betapa hangatnya kasih
sayang dan rasa aman yang dipancarkan dari dada
wanita itu. Ia seolah merasakan dan mendengar
lewat dekapan itu bahwa daripada berpisah lebih
baik mereka mati bersama.

Matanya basah ketika ia keluar dari kamar dan
menghampiri suaminya yang sedang membaca koran:
"Geraldo, saya adalah anak seorang pengemis,
dan mungkinkah ibu saya masih ada di jalan
sekarang setelah 25 tahun?"

Itu adalah awal dari kegiatan baru mereka mencari
masa lalu Serrafonna. Foto hitam-putih yang kabur
itu diperbanyak puluhan ribu lembar dan disebar ke
seluruh jaringan kepolisian diseluruh negeri.
Sebagai anak satu-satunya dari bekas pejabat yang
cukup berpengaruh di kota itu, Serrafonna
mendapatkan dukungan dari seluruh kantor kearsipan
kantor surat kabar dan kantor catatan sipil.
Ia membentuk yayasan-yayasan untuk mendapatkan
data dari seluruh panti-panti orang jompo dan
badan-badan sosial di seluruh negeri dan mencari
data tentang seorang wanita.

Bulan demi bulan lewat, tapi tak ada perkembangan
apapun dari usahanya. Mencari seorang wanita yang
mengemis 25 tahun yang lalu di negeri dengan
populasi 90 juta bukan sesuatu yang mudah. Tapi
Serrafona tidak punya pikiran untuk menyerah.
Dibantu suaminya yang begitu penuh pengertian,
mereka terus menerus meningkatkan pencarian mereka.
Kini, tiap kali bermobil, mereka sengaja memilih
daerah-daerah kumuh, sekedar untuk lebih akrab
dengan nasib baik. Terkadang ia berharap agar
ibunya sudah almarhum sehingga ia tidak terlalu
menanggung dosa mengabaikannya selama seperempat
abad.

Tetapi ia tahu, entah bagaimana, bahwa ibunya
masih ada, dan sedang menantinya sekarang. Ia
memberitahu suaminya keyakinan itu berkali-kali,
dan suaminya mengangguk-angguk penuh pengertian.

Pagi, siang dan sore ia berdoa: "Tuhan, ijinkan
saya untuk satu permintaan terbesar dalam hidup
saya: temukan saya dengan ibu saya".
Tuhan mendengarkan doa itu. Suatu sore mereka
menerima kabar bahwa ada seorang wanita yang
mungkin bisa membantu mereka menemukan ibunya.
Tanpa membuang waktu, mereka terbang ke tempat itu
sebuah rumah kumuh di daerah lampu merah, 600 km
dari kota mereka. Sekali melihat, mereka tahu
bahwa wanita yang separoh buta itu, yang kini
terbaring sekarat, adalah wanita di dalam foto.
Dengan suara putus-putus, wanita itu mengakui
bahwa ia memang pernah mencuri seorang gadis kecil
ditepi jalan, sekitar 25 tahun yang lalu.

Tidak banyak yang diingatnya, tapi diluar dugaan
ia masih ingat kota dan bahkan potongan jalan
dimana ia mengincar gadis kecil itu dan kemudian
menculiknya. Serrafona memberi anak perempuan yang
menjaga wanita itu sejumlah uang, dan malam itu
juga mereka mengunjungi kota dimana Serrafonna
diculik. Mereka tinggal di sebuah hotel mewah dan
mengerahkan orang-orang mereka untuk mencari nama
jalan itu. Semalaman Serrafona tidak bisa tidur.
Untuk kesekian kalinya ia bertanya-tanya kenapa ia
begitu yakin bahwa ibunya masih hidup sekarang,
dan sedang menunggunya, dan ia tetap tidak tahu
jawabannya.

Dua hari lewat tanpa kabar. Pada hari ketiga,
pukul 18:00 senja, mereka menerima telepon dari
salah seorang staff mereka. "Tuhan maha kasih,
Nyonya, kalau memang Tuhan mengijinkan, kami
mungkin telah menemukan ibu Nyonya. Hanya cepat
sedikit, waktunya mungkin tidak banyak lagi."

Mobil mereka memasuki sebuah jalanan yang sepi,
dipinggiran kota yang kumuh dan banyak angin.
Rumah-rumah di sepanjang jalan itu tua-tua dan
kusam. Satu, dua anak kecil tanpa baju bermain-
main ditepi jalan. Dari jalanan pertama, mobil
berbelok lagi kejalanan yang lebih kecil,
kemudian masih belok lagi kejalanan berikutnya
yang lebih kecil lagi.

Semakin lama mereka masuk dalam lingkungan yang
semakin menunjukkan kemiskinan. Tubuh Serrrafona
gemetar, ia seolah bisa mendengar panggilan itu.
"Lekas, Serrafonna, mama menunggumu, sayang". Ia
mulai berdoa "Tuhan, beri saya setahun untuk
melayani mama. Saya akan melakukan apa saja".

Ketika mobil berbelok memasuki jalan yang lebih
kecil, dan ia bisa membaui kemiskinan yang amat
sangat, ia berdoa: "Tuhan beri saya sebulan saja".
Mobil belok lagi kejalanan yang lebih kecil, dan
angin yang penuh derita bertiup, berebut masuk
melewati celah jendela mobil yang terbuka. Ia
mendengar lagi panggilan mamanya, dan ia mulai
menangis: "Tuhan, kalau sebulan terlalu banyak,
cukup beri kami seminggu untuk saling memanjakan".

Ketika mereka masuk belokan terakhir, tubuhnya
menggigil begitu hebat sehingga Geraldo memeluknya
erat-erat. Jalan itu bernama Los Felidas.
Panjangnya sekitar 180 meter dan hanya kekumuhan
yang tampak dari sisi ke sisi, dari ujung keujung.
Di tengah-tengah jalan itu, di depan puing-puing
ditengah-tengahnya, terbaring seorang wanita tua
dengan pakaian sehitam jelaga, tidak
bergerak-gerak.

Mobil mereka berhenti diantara 4 mobil mewah
lainnya dan 3 mobil polisi. Di belakang mereka
sebuah ambulans berhenti, diikuti empat mobil
rumah sakit lain. Dari kanan kiri muncul pengemis-
pengemis yang segera memenuhi tempat itu.

"Belum bergerak dari tadi." lapor salah seorang.
Pandangan Serrafona gelap tapi ia menguatkan
dirinya untuk meraih kesadarannya dan turun.
Suaminya dengan sigap sudah meloncat keluar,
memburu ibu mertuanya. "Serrafona, kemari cepat!
Ibumu masih hidup, tapi kau harus menguatkan
hatimu."

Serrafona memandang tembok dihadapannya, dan ingat
saat ia menyandarkan kepalanya ke situ. Ia
memandang lantai di kakinya dan ingat ketika
ia belajar berjalan. Ia membaui bau jalanan yang
busuk, tapi mengingatkannya pada masa kecilnya.
Air matanya mengalir keluar ketika ia melihat
suaminya menyuntikkan sesuatu ke tangan wanita
yang terbaring itu dan memberinya isyarat untuk
mendekat.

"Tuhan", ia meminta dengan seluruh jiwa raganya,
"beri kami sehari, Tuhan, biarlah saya membiarkan
mama mendekap saya dan memberitahunya bahwa selama
25 tahun ini hidup saya amat bahagia. Jadi mama
tidak menyia-nyiakan saya".

Ia berlutut dan meraih kepala wanita itu kedadanya.
Wanita tua itu perlahan membuka matanya dan
memandang keliling, ke arah kerumunan orang-orang
berbaju mewah dan perlente, ke arah mobil-mobil
yang mengkilat dan ke arah wajah penuh air mata
yang tampak seperti wajahnya sendiri ketika ia
masih muda.

"Mama....", ia mendengar suara itu, dan ia tahu
bahwa apa yang ditunggunya tiap malam - antara
waras dan tidak - dan tiap hari - antara sadar
dan tidak - kini menjadi kenyataan. Ia tersenyum,
dan dengan seluruh kekuatannya menarik lagi
jiwanya yang akan lepas.

Perlahan ia membuka genggaman tangannya, tampak
sebentuk anting-anting yang sudah menghitam.
Serrafona mengangguk, dan tanpa perduli
sekelilingnya ia berbaring di atas jalanan itu
dan merebahkan kepalanya di dada mamanya. "Mama,
saya tinggal di istana dan makan enak tiap hari.
Mama jangan pergi dulu. Apapun yang mama mau bisa
kita lakukan bersama-sama. Mama ingin makan, ingin
tidur, ingin bertamasya, apapun bisa kita
bicarakan. Mama jangan pergi dulu... Mama..."

Ketika telinganya menangkap detak jantung yang
melemah, ia berdoa lagi kepada Tuhan: "Tuhan maha
pengasih dan pemberi, Tuhan..... satu jamsaja.....
satu jam saja.....". Tapi dada yang didengarnya
kini sunyi, sesunyi senja dan puluhan orang yang
membisu. Hanya senyum itu, yang menandakan bahwa
penantiannya selama seperempat abad tidak berakhir
sia-sia.

0 comments: